No products in the cart.
Kisah Persaudaraan Muhajirin dan Anshar: Teladan Keikhlasan dan Solidaritas

Pendahuluan
Sejarah Islam penuh dengan kisah inspiratif yang mengajarkan arti cinta, pengorbanan, dan persaudaraan sejati. Salah satu kisah paling menggetarkan hati adalah persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar ketika Rasulullah ﷺ dan para sahabat hijrah dari Makkah ke Madinah. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga cermin keikhlasan, kepedulian, dan solidaritas yang masih relevan untuk kita terapkan dalam kehidupan sosial hari ini.
Allah ﷻ memuji kaum Anshar dalam Al-Qur’an:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka juga memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Al-Hasyr: 9)
Ayat ini menggambarkan keikhlasan kaum Anshar dalam membantu saudara-saudara mereka, kaum Muhajirin.
Latar Belakang Hijrah Rasulullah ﷺ
Hijrah dari Makkah ke Madinah bukanlah perjalanan biasa. Kaum Muhajirin meninggalkan harta, rumah, dan keluarga demi mempertahankan keimanan mereka. Saat tiba di Madinah, mereka dalam keadaan serba kekurangan. Di sinilah peran kaum Anshar begitu besar: mereka membuka rumah, membagi harta, bahkan menawarkan apa yang paling mereka cintai demi menolong saudaranya.
Kebijakan Rasulullah ﷺ saat itu adalah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Setiap satu orang Muhajirin dipersaudarakan dengan satu orang Anshar, sehingga mereka merasa aman dan memiliki keluarga baru di tanah yang asing.
Kisah-Kisah Inspiratif Persaudaraan
- Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Rabi’
Sa’ad bin Rabi’, seorang Anshar kaya raya, menawarkan separuh hartanya kepada Abdurrahman bin ‘Auf serta salah satu istrinya untuk dinikahi. Namun Abdurrahman menolak dengan halus dan berkata:
“Semoga Allah memberkahimu dalam harta dan keluargamu. Tunjukkan saja di mana pasar.”
Kisah ini mengajarkan bahwa persaudaraan sejati bukan sekadar menerima bantuan, tetapi juga bekerja keras dan menjaga harga diri.
- Sikap Kaum Anshar dalam Membagi Harta
Ketika hasil panen mereka melimpah, kaum Anshar selalu membaginya dengan Muhajirin. Bahkan dalam peperangan, rampasan perang pun rela mereka bagi. Padahal mereka sendiri membutuhkan, namun jiwa dermawan membuat mereka selalu mendahulukan saudaranya. - Keikhlasan dalam Kesederhanaan
Banyak Anshar yang hidup sederhana, namun mereka tetap memberikan sebagian dari apa yang mereka miliki. Inilah makna ayat Al-Qur’an: mengutamakan orang lain meski diri sendiri dalam kesusahan.
Nilai Sosial yang Bisa Kita Ambil
Kisah persaudaraan Muhajirin dan Anshar tidak hanya berlaku di zaman Rasulullah ﷺ, tetapi juga relevan untuk kondisi sosial saat ini. Beberapa nilai penting yang bisa kita teladani:
- Keikhlasan dalam berbagi – Memberi bukan karena berlebih, tetapi karena cinta dan iman.
- Solidaritas antar sesama – Menolong saudara tanpa melihat latar belakang, suku, atau status sosial.
- Pengorbanan yang tulus – Rela mendahulukan kepentingan orang lain meski diri sendiri kekurangan.
- Persaudaraan yang melampaui materi – Persaudaraan sejati lahir dari iman dan kasih sayang, bukan sekadar harta.
- Kemandirian dan kerja keras – Seperti Abdurrahman bin ‘Auf, kita belajar menjaga harga diri dengan berusaha, bukan hanya mengandalkan pemberian.
Relevansi di Zaman Modern
Di tengah kondisi sosial saat ini di mana banyak orang menghadapi kesulitan ekonomi, kesenjangan sosial, hingga konflik kemanusiaan kisah ini memberikan inspirasi untuk lebih peduli terhadap sesama. Kita bisa meneladani kaum Anshar dengan berbagi rezeki, sedekah, membantu korban bencana, atau bahkan sekadar saling mendoakan dan mendukung.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kepedulian sosial adalah bagian dari kesempurnaan iman.
Penutup
Kisah persaudaraan Muhajirin dan Anshar adalah teladan abadi tentang cinta, pengorbanan, dan solidaritas. Mereka mengajarkan bahwa persaudaraan sejati lahir dari iman, bukan sekadar ikatan darah. Dengan meneladani sikap mereka, kita dapat membangun masyarakat yang penuh kasih, saling membantu, dan kuat menghadapi tantangan zaman.
Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk selalu menebar kebaikan, mempererat persaudaraan, dan ikhlas dalam memberi, meskipun dalam keterbatasan.